Gambar
diatas menunjukan ancaman kriminalitas terhadap perempuan di Provinsi
Sulawesi Selatan khususnya di Kota Makassar yang dilansir berbagai
sumber media elektronik IDNTIMES
|
A. Analisis Kritis (Critical analys)
Pada masa sekarang, dimana mulai terjadi pergeseran peranan dan bias gender, ruang-ruang “maskulin” mulai diisi dan digunakan oleh perempuan. Perempuan bekerja dan berpergian hampir sama banyaknya dengan yang dilakukan laki-laki, dan juga menggunakan ruang yang sama banyaknya dengan laki-laki, namun ruang-ruang yang telah terbentuk seringkali memberikan rasa tidak nyaman dan tidak aman bagi perempuan. Pelecehan seksual pada perempuan ketika menggunaan transportasi publik ataupun ketika berjalan pada ruang-ruang dengan pecahayaan kurang adalah contoh-contoh ketidak nyamanan dan ketidak amanan yang menimpa perempuan akibat ruang-ruang “maskulin”. Tidak hanya ketidakadilan terhadap keamanan bahkan hal tersebut juga terjadi dalam memperoleh peluang ekonomi dan akses terhadap fasilitas perkotaan. Dalam hal peluang ekonomi, menunjukan adanya ancaman persaingan ekonomi yang tinggi bagi perempuan dimana beberapa pekerjaan pada umumnya memaksa perempuan untuk pulang larut malam yang merupakan waktu yang sangat potensial terjadinya tindak kriminalitas. Kemudian kekersan seksual, kekerasan seksual yang dimaksud adalah yang bersifat fisik maupun non fisik. Terkait, kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam tiga belas tahun terakhir setiap harinya di Indonesia terjadi 20 kali kekerasan seksual atau secara keseluruhan ada sebanyak 93.960 kasus, dan 23,7 persennya terjadi di ruang publik yang dominan terjadi di daerah perkotaan. Ruang publik di sini maksudnya adalah di angkutan umum, taman kota, jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya. Ini kemudian menjadi salah satu poin menunjukan bahwa Makassar juga tidak luput dari kecemasas terhadap rasa tidak adannya keamamanan untuk perempuan. Bia hal tersebut benar dirasakan oleh sebagian besar perempuan maka bisa dikatakan Makassar adalah kota yang jauh dari ideal. Makassar yang dirudung demikian banyak tantangan tentunya tidak menjadikan keamanan perempuan sebagai prioritas utama.
Pada masa sekarang, dimana mulai terjadi pergeseran peranan dan bias gender, ruang-ruang “maskulin” mulai diisi dan digunakan oleh perempuan. Perempuan bekerja dan berpergian hampir sama banyaknya dengan yang dilakukan laki-laki, dan juga menggunakan ruang yang sama banyaknya dengan laki-laki, namun ruang-ruang yang telah terbentuk seringkali memberikan rasa tidak nyaman dan tidak aman bagi perempuan. Pelecehan seksual pada perempuan ketika menggunaan transportasi publik ataupun ketika berjalan pada ruang-ruang dengan pecahayaan kurang adalah contoh-contoh ketidak nyamanan dan ketidak amanan yang menimpa perempuan akibat ruang-ruang “maskulin”. Tidak hanya ketidakadilan terhadap keamanan bahkan hal tersebut juga terjadi dalam memperoleh peluang ekonomi dan akses terhadap fasilitas perkotaan. Dalam hal peluang ekonomi, menunjukan adanya ancaman persaingan ekonomi yang tinggi bagi perempuan dimana beberapa pekerjaan pada umumnya memaksa perempuan untuk pulang larut malam yang merupakan waktu yang sangat potensial terjadinya tindak kriminalitas. Kemudian kekersan seksual, kekerasan seksual yang dimaksud adalah yang bersifat fisik maupun non fisik. Terkait, kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik. Komnas Perempuan mencatat bahwa dalam tiga belas tahun terakhir setiap harinya di Indonesia terjadi 20 kali kekerasan seksual atau secara keseluruhan ada sebanyak 93.960 kasus, dan 23,7 persennya terjadi di ruang publik yang dominan terjadi di daerah perkotaan. Ruang publik di sini maksudnya adalah di angkutan umum, taman kota, jalan raya dan tempat-tempat umum lainnya. Ini kemudian menjadi salah satu poin menunjukan bahwa Makassar juga tidak luput dari kecemasas terhadap rasa tidak adannya keamamanan untuk perempuan. Bia hal tersebut benar dirasakan oleh sebagian besar perempuan maka bisa dikatakan Makassar adalah kota yang jauh dari ideal. Makassar yang dirudung demikian banyak tantangan tentunya tidak menjadikan keamanan perempuan sebagai prioritas utama.
Pertanyaan yang mungkin timbul dari kasus yang terjadi di Makassar adalah, “Apakah perencanaan kota Makassar yang seperti sekarang ini benar untuk semua golongan masyarakatnya?” Artinya, apakah tata ruang Makassar, mulai dari sistem transportasi, kesehatan, ketenagakerjaan keamanan dan lain sebagainya, bisa dinikmati secara setara oleh semua kalangan masyarakat Makassar? Lebih fokus lagi, misalnya, apakah perencanaan kota Makassar sudah ramah untuk perempuan? Melihat, kondisi kekinian Makassar, terlihat jelas bahwa Makassar masih belum bisa dikategorikan ramah perempuan. Hal ini karena pertama, memang belum ada kebijakan spesifik yang diusung Pemerintah kota, provinsi maupun pusat yang spesifik dibuat dengan kesadaran pentingnya membuat Makassar aman dan nyaman bagi perempuan.
Prinsip dasar dari Kota Ramah Perempuan ini adalah bagaimana sebuah kota dibangun agar inklusif untuk semua warganya, perempuan dan laki-laki, kaya-miskin, masyrakat sipil, sektor swasta tentunya merasa aman, sehingga semua warga dapat bekerja, bersosialisasi dan mengaktualisasikan dirinya. Dengan kata lain, pembangunan perkotaan seharusnya diarahkan ke pembangunan yang dapat mengantisipasi lonjakan penduduk, kemiskinan, masalah keamanan khususnya dengan tidak melupakan keberadaan perempuan, terutama mengakhiri kasus-kasus kekerasan seksual terhadap perempuan di ruang publik.
Aksi masyarakat Makassar pada international women’s day, sebagai bentuk keluh kesah atas ketidak nyamanan di kota |
Untuk mewujudkan ruang Makassar yang ramah perempuan dan menghilangkan stigma bahwa Makassar adalah kota yang tidak aman untuk perempuan maka seorang perencana perlu melihat dari sudut pandang feminisme dimana perempuan harus dipandang sebagai sebuah variable dalam perencanaan kota. Kenyataannya, kebijakan tata ruang di Makassar saat ini meleburkan perempuan sebagai other categories yang tersembunyi. Tata ruang cenderung menyeragamkan kebutuhan ruang masyarakatnya yang notabenenya dipandang dari sudut “maskulin”. dan kebutuhan perempuan tidak dipertimbangkan. Namun, semua keputusan yang diambil untuk masalah perumahan, keamanan, transportasi, pendidikan dan kesehatan secara langsung mempengaruhi wanita, memfasilitasi atau mempersulit hidup mereka. Artinya, perencanaan masih dalam benteng pertahanan pria, masih dalam dominasi pria dan belum dipengaruhi oleh kesadaran akan pentingnya gender.
Misalnya, layanan seperti membangun tempat dimana perempuan dapat berkumpul atau taman kanak-kanak dan pusat penitipan anak untuk setiap lingkungan dll. Umumnya tidak diprioritaskan dalam perencanaan dan organisasi perkotaan. Jalan-jalan yang kurang terang khususnya pada lorong-lorong di Makassar, kurangnya layanan angkutan kota dan angkutan massal seperti transmamminasata yang kurang mengakomodir tujuan pergerakan dan kondisi keamanan yang buruk dari yang sudah ada, mencegah perempuan dari melaksanakan kebebasan bepergian mereka yang merupakan salah satu hak fundamental mereka. Akses jalan yang tidak rata dan trotoar yang tinggi membuat sulit bagi perempuan untuk menggunakan jalan-jalan kota dengan kereta bayi.
Perempuan merupakan salah satu kelompok yang paling diabaikan ketika datang ke fasilitas perkotaan. Selain itu, tempat penampungan perempuan dan dukungan langsung hot line untuk dapat mencapai pihak berwenang dalam kasus paparan terhadap kekerasan juga merupakan masalah penting, yang tidak boleh diabaikan dalam rencana pemerintah kota.
Dari sudut pandang feminism seharusnya perencanaan yang menjadikan perempuan seabagi objek melibatkan kaum perempuan dalam penyusunan rencana tersebut. Sebagai contoh dalam penyusunan rencana tata ruang Kota Makassar khususnya untuk mewujudkan konsep kota ramah perempuan, pemerintah melibatkan tim ahli dari kaum perempuan, survivor kasus-kasus kekerasan terhadap perempuan, keluarga korban, masyarakat dari segala lapisan masyarakat. Hal ini agar program-program yang dibuat untuk mewujudkan Kota Ramah Perempuan ini benar-benar implementatif karena dibuat berdasarkan pengetahuan dan pengalaman perempuan sendiri selama ini beraktivitas di ruang-ruang kota. Tentu saja pengalaman-pengalam tersebut mungkin saja tidak tersentuh dan terpikirkan oleh rana “maskulin”
Kondisi kunci untuk menciptakan Makassar yang ramah perempuan adalah dengan menganalisis kebutuhan infrastruktur, sosial dan spasial perempuan dan anak perempuan secara cepat dan tepat dengan tujuan a) merancang layanan perkotaan khusus perempuan b) untuk menyediakan semua layanan dengan menilai mereka dalam hal kesetaraan gender. Kedua pendekatan ini seharusnya tidak dianggap sebagai dua alternatif tetapi dua pendekatan paraler yang saling melengkapi.
Singkatnya, langkah pertama untuk menciptakan Makassar yang ramah wanita adalah dengan mengenal golongan perempuan yang tinggal di Makassar kemudian menganalisis kebutuhan, masalah dan peluang mereka dengan benar. setelah langkah ini, rencana strategis dan rencana kerja yang peka gender harus disiapkan dengan pertimbangan penganggaran yang berbasis gender ketika menyiapkan anggaran provinsi maupun kota.
Sebagaimana dijelaskan di atas, perbedaan persepsi, perilaku, dan kebutuhan perempuan dalam ruang juga perlu didentifikasi lebih lanjut untuk kemudian diakomodasikan dalam proses perumusan rencana penataan ruang, karena adanya perbedaan kebutuhan laki-laki dan perempuan akan berimplikasi pada perbedaan kebutuhan ruang. Maka untuk mewujudkan hal tersebut perempuan perlu dilibatkan dalam proses perumusan rencana penataan ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hal ini menjadi penting karena yang sangat peka dengan isu ketidakadilan gender dalam konteks penataan ruang adalah kaum perempuan.
Catatan penting lainnya adalah, bahwa persoalan mengkondisikan pembangunan sebuah kota agar ramah perempuan bukan berarti hendak membuat keistimewaan terhadap perempuan. Kebijakan dan program harus sering memperlakukan tiap orang maupun kelompok secara berbeda namun tujuan dan pengaruh kebijakan harus setara gender. Hal ini harus dilihat sebagai sebuah cara untuk mempercepat kesetaraan gender perempuan dan laki-laki dalam tata ruang. Seperti yang dikatakan di atas bahwa kekerasan yang terjadi pada perempuan adalah sebagai salah bentuk ketidaksetaraan gender. Ketidaksetaraan gender tercipta karena stigma, pelabelan dan subordinasi yang dialami perempuan selama ini di ranah publik dan juga pivat.
Berdasarkan uraian diatas maka dapat disimpulkan bahwa Makassar sebagai bagian dari kawasan metropolotan yang seringnya jadi kiblat pembangunan khususnya di Kawasan Indonesia Timur, tidak seharusnya menjadi kota yang berbahaya untuk dihuni, termasuk bagi perempuan. Bukan hanya Makassar, pembenahan kultur kekerasan dan ancaman kriminal juga harusnya diperhatikan di seluruh kawasan Indonesia. Peran pemerintah dan kesadaran masyarakat benar-benar sangat diperlukan. oleh karena itu pentingnya kesetaraan gender dalam sebuah perencanaan dan mengakui adanya perbedaan dalam aktivitas kehidupan sehari-hari laki-laki dan kaum perempuan. Karena bagi perempuan tidak terakomoditasinya kebutuhan mereka dari prespektif ruang sebagai tempat aktifitas mereka seperti penerangan untuk jalan dan di permukiman padat dan ruang-ruang public bisa menajdi masalah hidup dan mati.
KSR-UH.XXI.025
Posting Komentar