INFO MARKAS

PESONA DI BASSE SANGTEMPE UTARA


Luwu Minggu, 3 Desember 2017
Perjalanan panjang yang melelahkan terbalaskan dengan tuntas oleh kepingan landskap yang 

Lereng pegunungan Bastem
menghampar luas di kaki pegunungan. Sayup terdengar nyanyian burung hutan yang berbalas pantun. Lereng gunung yang melandai, hijau nian dipenuhi tanaman ilalang yang berliuk-liuk girang diterpa angin sepoi-sepoi. Nampak samar di kejahuan puncak Latimojong yang diselimuti awan mendamaikan ruh yang tak bertuan menselaraskan alam dan penghuninya. rumah-rumah penduduk yang terselip diantara lebatnya pepohonan khas hujan tropis hamparan sawah, rumah Tongkonan dan binatang legendaris sang pembawa arwah - Tedong Bonga (Kerbau Belang) hidup menyatu nan bijak dengan alam inilah negeriku negeri Sulawesi, negeri para pejuang dengan sejuta adat dan Romannya. Eksotik dan memukau tentunya.


Terik matahari membakar kulit tak menyurutkan niatku mengambil gambar, mengabadikan momen romantis di setiap sudut pegunungan di Kecamatan Basse sangtempe Utara (Bastem Utara) Kabupaten Luwu Sulawesi Selatan. Gemulai pohon pinus menikmati belaian angin di siang itu. Angin yang bertiup pelan mengitari lembah pegunungan membelai dengan mesra setiap yang dilewatinya. Sungguh berat hati ini untuk beranjak. Lembah dengan sejuta pesona memaku diriku untuk diam tanpa kata memaksaku untuk menatap jauh kedepan menikmati setiap kepingan pelangi yang bertebaran di lembah ini.

Gereja dan Sawah
Ini belum setengah perjalanan masih ada tiga jam lebih perjalanan untuk sampai dilokasi tujuan desa Buntu Tallang. Sebenarnya ini hari kedua kunjungan saya di kabupaten Luwu. Hari pertama dan kedua saya habiskan di desa Lalong yang lokasinya berjarak satu jam dari Kota Palopo dan dua jam dari Kota Belopa. Tak banyak yang bisa saya ceritakan dari desa Lalong. Jika teman-teman pernah membaca tulisan saya dengan judul “Desa Tabah-Potret Kerukunan beragama di Sulawesi Selatan” kondisi masyarakatnya pun tidak jauh berbeda dengan Desa Lalong. Desa Lalong desa yang baru saja menyelesaikan pemilihan kepala desa ini terdiri dari enam dusun. Dusun Uraso, dusun Pantilang, dusun Bolu Tambunan, dusun Matarin, dusun Maindo dan dusun Kanna. Dusun Uraso, dusun Pantilang dan dusun Maindo berbatasan langsung dengan Jalan Poros Luwu – Soroako sedangkan dua dusun lainnya terletak agak kedalam terlebih untuk dusun Matarin, Lokasinya jauh di pengunungan dengan medan jalanan terdiri dari bebatuan gunung. Sama halnya di Desa Tabah Hamparan sawah mendominasi pemandangan di desa ini.

Menuju Bonto Tallang-Basse sangtempe Utara

Hari minggu pukul 09:35 waktu setempat dengan kecepatan rata-rata 60 km per jam saya memacu si Kuda Besi menapaki jalan raya dari Walenrang menuju Bastem Utara via Latuppa. Sejam kemudian jalanan di dominasi dengan bebatuan cadas khas pegunungan. Jalanan ini mengikis lereng-lereng pegunungan yang ada di daerah Bastem Utara. Hutan pinus khas tumbuhan dataran tinggi berdiri kokoh di sepanjang perjalanan. Jalan yang sewajarnya hanya di tempuh dengan 4 jam perjalanan, kali ini saya tempuh dengan waktu 6 jam perjalanan. Landskap nan indah selalu berhasil menggodaku untuk singgah mengabadikannya dalam kotak tipis persegi panjang yang kita sebut dengan HandPhone, barang yang masa sekarang kebutuhannya mengalahkan sandang, pangan dan papan bahkan pacar sekalipun.

Kerbau dan anaknya
Waktu menunjukkan pukul 16:10 waktu setempat, setelah perjalanan panjang yang melelahkan akhirnya sampai juga di desa Buntu Tallang Bastem Utara. Sore itu motor yang di dominasi lumpur terparkir lesu di bawah kolong rumah Pak Kadir, kepala desa Bonto Tallang. Aroma kopi arabika khas Tanah Toraja menyusup centil di indra penciumanku merayap pelan hingga ke otak membokar rasa lelah yang sedari tadi meronta. Ku seruput perlahan kopi ini, ada perasaan sedih bercampur bahagia. Kopi yang sama namun di minum di tempat yang berbeda dan suasana berbeda akan menghasilkan rasa yang berbeda pula. Kata pak Desa “Kopi itu tidak hanya seni menyeimbangkan rasa pahit dan manis namun lebih kepada menyeimbangkan rasa dan perasaan”. Teman-teman yang diluar sanan mungkin lebih bijak untuk menginterpretasikan perkataan pak Desa tersebut yang jelas buat saya kopi sore itu adalah air terbaik yang pernah lewat di tenggorokanku sepanjang hari ini. Obrolanpun berlanjut melantun pelan mengiringi senja hingga malam mulai merangkak dari balik pengunungan membawa sejuta misteri untuk saya pendatang baru dengan penuh tanya penasaran apa dan bagaimna saya melewati malam di tengah belantara hutan di tanah Luwu.

Pagimu tak seindah pagiku

Suarah gaduh anak pak Dusun membangunkanku dari tidur yang nyenyak, kutarik silamut pemberian tuan rumah badan ini terjerat dengan kantuk dan dingin yang menggerayangi setiap sendi di badanku. Kupaksakan mata tuk terbuka, samar-samar kulihat anak pak dusun sedang mengenakan seragam SD bersiap-siap hendak kesekolah. Kulirik jam tangan outdoor yang selalu setia menemani petualanganku waktu menunjukka pukul 05:45 cepat sekali anak ini kesekolah… Kataku. Seketika itu pula egoisme membongkar kemalasanku jika anak SD saja bangun jam segini, lantas saya yang sudah menyandang gelar S1 di kampus ternama di Indonesia timur tentu harus bangun jauh sebelum jam 5 subuh. Mau di taruh dimana muka ini jika saya bangunnya telat… gumanku dalam hati. Kutarik bantal disamping badanku dan kurapikan selimut yang mengalasi pembaringanku kemudian terlintas ide yang sangat cemerlang… bagaimana jika muka ini saya taruh di bantal mungkin saja akan terasa nyaman. Hhhhoooaaammmmmm… betul kataku… tidur pun di lanjutkan…
Pesawahan Terasering
Pukul tujuh lewat seperempat, setelah mencuci muka dan bersikat gigi saya dan pak Ilam duduk santai di di teras rumah. Sekilas pak Ilam menatap saya ada semacam komunikasi telepati yang terjadi antara saya dan pak Ilam. Saya belum bisa mandi pak, masih dingin soalnya… kataku !!! kamu tak usah alasan dingin anak muda di tempat asalmu pun kamu jarang mandi pagi kan… balas pak Ilam. Kira-kira seperti itulah pembicaraan via telepati kami singkat, padat dan menusuk. Rumah pak Ilam cukup besar untuk menanpung keluarga kecilnya, rumah ini belum lama berdiri dindingnya masih berwarna asli, asli belahan kayu. dengan gaya rumah panggung khas rumah sulsel pada umumnya. Rumah ini berada pas di samping patahan tektonik yang dibawahnya berbaris hamparan sawah dengan model terasering di sebelah timurnya rangkaian pegunungan membatasi sawah tersebut. Embun pagi mulai turun perlahan berarak menuju pemukiman bergerak pelan menyapa alam. Matahari pagi memanjat pelan dari balik pegunungan cahayanya lembut membelai dedaunan seakan berbisik kepada setiap mahluk yang ada disana “waktunya bangun wahai mahluk tuhan saatnya menaklukan dunia”. Tak ketinggalan suara burung pagi, ayam dan beberapa ternak sahut menyahut menyambut sang fajar.

Tongkonan, Rumah adat bangsawan Toraja

Tongkonan dan Pak Ilam
Sambil sesekali menyeruput kopi Toraja yang khas aromanya. Saya pun mulai membunuh kebisuan dengan beberapa pertanyaan kepada Pak Ilam. Pak Ilam adalah kepala dusun Kajuara perawakannya cukup tinggi dan berbadan besar umurnya sekitar 40 an dia memiliki seorang istri dan dua orang anak. Pak Ilam ini penduduk asli Bastem utara penganut Protestan yang taat. Di pekarangan rumah pak Ilam berdiri Rumah Tongkonan yang masih baru namun ukurannya agak kecil hanya untuk menerima tamu adat dan menyimpan padi. Menurut keterangan pak Ilam tidak semua masyarakat Bastem memiliki rumah Tongkonan di pekarangan rumahnya hanya mereka-mereka yang berketurunan bangsawanlah yang memiliki hak dan berkewajiban untuk membuat rumah Tongkonan. Di desa Buntu Tallang sendiri hanya beliau dan Pak Desa yang memiliki rumah Tonggkonan di pekarangan rumahnya. Untuk satu rumah tongkonan ini biasanya memakan waktu 2 sampai 3 bulan lebih masa pembuatannya. Kayu yang di pilihnyapun bukan kayu sembarangan tapi kayu khusus yang tumbuh di tengah hutan pegunungan bastem dan tentunya memerlukan waktu yang tidak sebentar untuk memindahkannya ketengah perkampungan. Untuk satu tongkonan ini menghabiskan dana sekitar 80 sampai 100 juta. Dan biaya ini akan berkali-kali lipat lagi jika di buat di daerah kota di Tana Toraja.

Potensi yang terpendam

Tongkonan
Bastem utara adalah kecamatan ke 22 yang ada di kabupeten Luwu dibentuk pada tahun 2012 yang lalu dan ber-Ibu kota di Desa Pantilang. Kecamatan Bastem Utara terdiri dari 12 Desa salah satunya Desa Buntu Tallang. Di sebelah barat dari Desa Buntu Tallang berbatasan dengan desa Tede dan Desa Pantilang di utara berbatasan dengan Enrekang dan Tanah Toraja, Timur dan Selatan berbatasan dengan daerah Belopa dan Palopo. Jika kita berada di rumah Pak Kadir (Kepala Desa Buntu Tallang) samar-samar akan nampak puncak dari Gunung Latimojong satu dari sekian gunung di Sulsel yang eksotik.

Dari 12 Desa di kecamatan Bastem Utara hanya Desa Buntu Tallang yang penduduknya terbilang cukup kecil hanya 100 san kepala keluarga yang menyebar di 4 Dusun yaitu Dusun Tallang, Dusun Kajuara, Dusun Bulo dan Dusun Parampunan dari ke 4 dusun tersebut dusun Tallang yang memiliki kepala keluarga terbanyak ada sekitar 26 kepala keluarga yang bermukim. Menurut keterangan pak desa dulunya penduduk desa Tallang cukup banyak hanya saja banyak dari mereka yang berpindah penduduk dengan berbagai alasan seperti alasan menikah dan mencari pekerjaan. Anak-anak muda di sini umumnya merantau jika sudah memasuki usia dewasa sangat sedikit yang ingin tinggal dan meneruskan pekerjaan orang tuanya, lahan-lahan pertanian banyak yang terbengkalai tak mampu lagi digarap oleh manusia yang berusia 60 atau 70 tahun ke atas. Harga permeter tanah disini berapa pak??? Kataku bercanda. Tak ada tanah yang dijual di sini kamu bebas memilikinya sekuat yang bisa kamu miliki… jawab Pak Dusun Ilam penuh semangat.

Antara mimpi dan pengharapan

Topografi desa Buntu Tallang yang berupa pegunungan sangat mendukung potensi pariwisata yang lebih mengandalkan pemandangan bentang alam seperti kabut hamparan hutan dan sawah, gunung dan bunyi-bunyian burung. Rumah-rumah wargannya yang berada di daerah lereng gunung bisa menjadi sumberdaya untuk dijadikan penginapan alternatife para turis dengan konsep Sosianatural selain itu kondisi suhu yang dingin karena lokasinya berada di ketinggian membuat daerah ini cocok untuk tanaman berjenis Palawija.

Rumah Sawah
Sebenarnya ada keinginan dari pak Desa dan pak Dusun untuk menjadikan Desa Buntu Tallang sebagai Desa Agrowisata seperti yang ada di Bantaeng dan Negeri di Atas Awan seperti yang ada di daerah Lolai Tana Toraja agar melahirkan lahan pekerjaan baru bagi masyarakat di sini utamanya untuk pemuda dan pemudinya sehingga mereka tidak lagi keluar untuk merantau cukup bekerja di sini saja. Namun keterbatasan pengetahuan dan kondisi infrastruktur yang belum memadai mengharuskan mimpi tersebut di tunda dulu.

Infrastruktur di desa ini masih dalam tahap pengerjaan. Jalanan lorong desa masih dalam proses pengerasan maka jangan heran jika hujan tiba jalanan di desa ini akan berubah menjadi arena balapan motor cross, lumpur dan lumpur. Namun kita tetap optimis mudah-mudahan tahun depan sudah bisa lanjut ketahap berikunya karena sudah di anggarkan melalui dana desa. Kata pak Ilam. Mayoritas penduduk di sini bermata pencaharian sebagai petani sawah. Ada juga yang berkebun Kakao dan cengkeh namun dalam skala kecil.

Masyarakat Desa Buntu Tallang mayoritas beragama Kristen Protestan. Ada juga yang beragama Muslim tapi cuman dua kepala keluarga saja itulah mengapa pembangunan masjid belum juga terealisasi. Jadi untuk sembahyang jumat misalnya masyarakat muslimnya harus ke desa tetangga yang jaraknya lumayan jauh. Dibidang pendidikan sendiri kondisinya tidak jauh berbeda dengan Masjid. Di sini belum ada Sekolah baik Sekolah Dasar terlebih sekolah lanjutan. Adanya di Desa Tede yang jaraknya juga lumayan jauh makanya anak-anak SD disini berangkatnya subuh-subuh dan sebagai bentuk toleransi, SD di desa Tede tidak mematok jam berapa waktu masuk kelas. Patokannya adalah jika anak-anak sekolah dari desa Tallang sudah sampai di sekolah maka jam pelajaranpun segera dimulai

Landskap di sudut jalan 
Untuk penerangan. Di desa ini sudah ada pembangkit listrik sendiri yang di gerakkan oleh air. Namun tenaganya masih kecil dan tempat operasionalnyapun masih butuh pembenahan. Sewaktu saya disana listrik lagi padam soalnya ada pohon yang tumbang akibat angin kencang dan memutuskan kabel aliran listrik. Pembangkit listrik ini dikelola secara swadaya oleh masyarkat desa dan pak Dusun Ilam bertindak sebagai Operatornya.

Adalah harapan kita bersama agar pemerintah daerah menaruh perhatian lebih untuk daerah-daerah yang memiliki potensi yang belum terkelola maksimal., salah satunya seperti yang ada di desa Buntu Tallang kecamatan Bastem Utara kabupaten Luwu ini. pembangunan daerah terpencil jangan hanya dijadikan sebagai jargon politik saja. Realisasi dalam bentuk kerja keras itu yang penting, agar kesejahteraan dan pendidikan bisa merata di semua tempat di Indonesia. Tak dapat kita pungkiri bahwa support dari pemerintah daerah ataupun pusat itu sangatlah penting dalam kemajuan pembangunan pedesaan. Namun bertindak mandiri, inofatif dan kreatif memanfaatkan sumberdaya yang ada memanfaatkan apa yang ada akan jauh lebih baik ketimbang selalu menunggu dan berharap. Seyogyanya pembangunan itu dimulai dari aksinyata masyarakatnya sehingga terjadi sinergitas antara kemauan dan bantuan.


landskap di sudut jalan
Dah lama juga rasanya saya duduk bercengkrama dengan pak Dusun. Dan kayaknya embun tak lagi nampak kopi tak lagi hangat tiba saatnya untuk berkeliling kampung menyelesaikan pekerjaan agar esoknya bisa balik ke Makassar. Saya mohon permisi ke pak Ilam untuk membereskan perlengkapan sekalian meminta kesediaanya untuk menemani berkeliling desa. Setelah beres-beres dan sarapan saya dan pak Ilam bersepeda motor mengelilingi desa Buntu Tallang. Sebenarnya masih banyak yang ingin saya tuliskan di buku kecil ini namun bairlah itu menjadi misteri untuk mereka yang berjalan dengan penasarannya. Membuka lembaran demi lembaran mozaik nusantara tidaklah cukup dengan membaca dan membayangkan. Datangi ceritakan dan sebarkan semangat petualanganmu.

M.Y.Weandara

Posting Komentar

 
Back To Top